Wisata Desa Jadi Primadona Baru Pariwisata Indonesia
beritajam.net – Tahun 2025 menjadi titik kebangkitan wisata desa di Indonesia. Setelah lama tertutupi oleh popularitas destinasi besar seperti Bali dan Yogyakarta, kini desa-desa wisata dari Sabang sampai Merauke justru menjadi primadona baru. Data Kemenparekraf menunjukkan kunjungan ke desa wisata naik 150% dibanding tahun 2023, dengan dominasi wisatawan domestik dari generasi milenial dan Gen Z.
Wisata desa menawarkan sesuatu yang tidak bisa didapat dari destinasi kota: ketenangan, keaslian budaya, dan interaksi langsung dengan masyarakat lokal. Banyak wisatawan yang bosan dengan hiruk-pikuk kota dan mencari pengalaman liburan yang lebih bermakna. Mereka ingin kembali menyatu dengan alam, belajar budaya tradisional, dan menikmati hidup perlahan tanpa tekanan.
Desa wisata biasanya menawarkan pengalaman tinggal di homestay, menikmati kuliner khas, ikut bertani atau membuat kerajinan, hingga mengikuti upacara adat setempat. Konsep ini menarik minat wisatawan yang mendambakan pengalaman autentik sekaligus mendukung ekonomi lokal.
Pemerintah Dorong Program 10.000 Desa Wisata
Meledaknya tren wisata desa tidak lepas dari program besar pemerintah yang menargetkan pembentukan 10.000 desa wisata hingga tahun 2028. Sejak 2022, Kemenparekraf aktif memberikan pelatihan manajemen pariwisata, bantuan infrastruktur, hingga promosi digital bagi desa-desa potensial.
Ratusan desa kini telah naik kelas menjadi Desa Wisata Mandiri, lengkap dengan fasilitas penginapan, pusat informasi wisata, toilet bersih, hingga jaringan internet yang memadai. Pemerintah daerah juga aktif mengadakan festival budaya, lomba kuliner lokal, dan pelatihan bahasa Inggris bagi warga desa agar siap melayani wisatawan.
Langkah ini membuahkan hasil. Desa-desa seperti Penglipuran (Bali), Nglanggeran (DIY), Pentingsari (Sleman), Sade (Lombok), dan Wae Rebo (NTT) kini jadi magnet wisatawan. Mereka ramai dikunjungi bukan hanya saat musim liburan, tapi hampir sepanjang tahun karena menawarkan pengalaman yang tidak bisa ditemukan di kota.
Dampak Ekonomi Besar bagi Warga Lokal
Ledakan wisata desa membawa dampak langsung bagi ekonomi lokal. Warga yang sebelumnya menggantungkan hidup dari pertanian atau perikanan kini mendapat penghasilan tambahan dari homestay, kuliner, jasa pemandu, hingga penjualan suvenir kerajinan tangan.
Data menunjukkan rata-rata pendapatan warga desa wisata meningkat hingga 300% dalam dua tahun terakhir. Banyak anak muda desa yang dulu merantau ke kota kini pulang kampung karena melihat peluang usaha di sektor pariwisata lokal. Fenomena ini memperlambat urbanisasi dan menjaga regenerasi di desa.
Selain itu, wisata desa mendorong tumbuhnya UMKM lokal. Kopi, tenun, batik, makanan tradisional, hingga produk herbal lokal laris diburu wisatawan. Hal ini menciptakan rantai ekonomi baru yang lebih inklusif, di mana keuntungan pariwisata tidak hanya dinikmati pemilik modal besar tapi juga masyarakat akar rumput.
Daya Tarik Unik: Alam Asri dan Budaya Otentik
Alasan utama wisatawan jatuh cinta pada wisata desa adalah kombinasi alam asri dan budaya lokal yang masih terjaga. Desa wisata umumnya berada di pegunungan, tepi danau, atau dekat hutan, sehingga menawarkan udara segar, pemandangan hijau, dan suasana damai yang menenangkan pikiran.
Wisatawan bisa ikut bertani, memetik buah, membuat gula aren, menanam padi, atau belajar membuat anyaman bambu dari pengrajin lokal. Aktivitas sederhana ini memberi rasa kebersamaan dan kedekatan yang tidak bisa dirasakan di hotel-hotel modern.
Selain itu, wisatawan bisa menyaksikan langsung tradisi lokal seperti upacara panen, tarian adat, ritual keagamaan, atau permainan rakyat. Interaksi ini memperkaya pengetahuan budaya sekaligus membangun rasa hormat terhadap keberagaman Indonesia. Pengalaman otentik inilah yang membuat wisata desa punya nilai emosional kuat.
Tantangan: Infrastruktur dan Keberlanjutan
Meski pertumbuhannya pesat, wisata desa masih menghadapi berbagai tantangan serius. Infrastruktur dasar seperti jalan, transportasi umum, air bersih, dan sanitasi belum merata di semua desa wisata. Banyak wisatawan mengeluh akses sulit dan fasilitas minim di beberapa lokasi, yang bisa mengurangi kenyamanan dan keamanan perjalanan.
Tantangan lain adalah manajemen keberlanjutan. Lonjakan wisatawan berpotensi merusak lingkungan dan budaya lokal jika tidak dikendalikan. Sampah, polusi suara, dan pergeseran nilai budaya bisa terjadi jika desa wisata dikelola hanya untuk keuntungan jangka pendek.
Karena itu, pemerintah menekankan konsep Community Based Tourism (CBT) agar desa tetap dikendalikan oleh masyarakat lokal. Setiap desa diwajibkan membuat regulasi kapasitas kunjungan harian, pengelolaan sampah, dan kode etik wisatawan. Pendekatan ini penting agar wisata desa tetap lestari dan tidak kehilangan keaslian yang menjadi daya tarik utamanya.
Wisata Desa dan Transformasi Pariwisata Nasional
Tren wisata desa menjadi simbol transformasi pariwisata Indonesia dari mass tourism ke quality tourism. Jika dulu wisata fokus mengejar jumlah kunjungan, kini yang dikejar adalah pengalaman mendalam, dampak sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Pergerseran ini sejalan dengan tren global di mana wisatawan pascapandemi mencari liburan yang menyehatkan mental, memperkuat hubungan sosial, dan memberi makna personal. Wisata desa memenuhi semua itu sekaligus memperkuat identitas budaya nasional.
Banyak pengamat menyebut wisata desa sebagai kunci masa depan pariwisata Indonesia karena negara ini memiliki lebih dari 80.000 desa dengan kekayaan alam dan budaya luar biasa. Jika dikelola baik, desa wisata bisa menjadi ujung tombak pengentasan kemiskinan sekaligus promosi citra positif Indonesia di mata dunia.
Penutup: Kembali ke Desa untuk Masa Depan Pariwisata
Simbol Kebangkitan Wisata Berkelanjutan
Wisata Desa Indonesia 2025 menjadi simbol kebangkitan sektor pariwisata yang lebih ramah lingkungan, inklusif, dan memberdayakan masyarakat. Desa yang dulu terpinggirkan kini menjadi pusat pertumbuhan baru.
Harapan untuk Generasi Muda Desa
Dengan dukungan teknologi dan kreativitas generasi muda, wisata desa bisa menjadi tulang punggung ekonomi baru Indonesia. Masa depan pariwisata ada di desa — tempat di mana keaslian dan keramahan masih hidup.
📚 Referensi