◆ Latar Belakang Revisi UU TNI
Rencana revisi UU TNI (Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia) tahun 2025 menimbulkan perdebatan sengit di ruang publik. Pemerintah mengusulkan perubahan sejumlah pasal yang memperluas kewenangan TNI dalam menangani urusan sipil, termasuk keamanan dalam negeri dan pengamanan proyek strategis nasional. Tujuan resmi pemerintah adalah memperkuat stabilitas nasional dan mempercepat pembangunan infrastruktur vital yang dianggap rawan gangguan.
Namun, banyak pihak menilai langkah ini sebagai kemunduran demokrasi. Pasalnya, sejak Reformasi 1998, Indonesia secara bertahap membatasi peran TNI agar kembali ke barak dan fokus pada pertahanan negara, bukan urusan sipil. Reformasi tersebut lahir dari trauma masa Orde Baru, di mana militer memegang kekuasaan besar dan sering menekan kebebasan rakyat. Karena itu, wacana memperluas kembali kewenangan TNI dianggap mencederai semangat reformasi.
Sejumlah akademisi, LSM, dan aktivis HAM menilai bahwa revisi UU TNI dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Polri, serta membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Kekhawatiran ini mendorong munculnya gelombang kritik dan protes publik di berbagai kota.
◆ Argumen yang Mendukung Revisi UU TNI
Pihak pendukung revisi UU TNI menekankan bahwa situasi keamanan saat ini membutuhkan keterlibatan aktif TNI di luar fungsi pertahanan murni. Mereka berpendapat bahwa ancaman modern seperti terorisme, sabotase infrastruktur, bencana alam, dan gangguan keamanan siber membutuhkan dukungan penuh militer karena Polri dinilai tidak cukup mampu menanganinya sendiri.
Selain itu, mereka menganggap keterlibatan TNI dalam proyek strategis nasional penting untuk memastikan kelancaran dan ketepatan waktu pelaksanaan. Dalam pandangan ini, TNI dianggap memiliki disiplin, logistik, dan jaringan yang mampu mempercepat pembangunan, terutama di wilayah terpencil yang sulit dijangkau.
Pendukung revisi juga menyebut bahwa banyak negara demokratis lain tetap memberikan peran domestik terbatas bagi militer, sehingga hal ini tidak otomatis menyalahi prinsip demokrasi selama ada mekanisme pengawasan yang ketat. Mereka menilai kekhawatiran penyalahgunaan kekuasaan dapat diatasi dengan penguatan sistem akuntabilitas dan transparansi.
◆ Argumen yang Menolak Revisi UU TNI
Sementara itu, pihak yang menolak revisi UU TNI menegaskan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil berpotensi mengancam demokrasi. Mereka menilai revisi ini akan mengaburkan garis demarkasi antara kekuatan militer dan sipil, yang selama dua dekade terakhir berhasil dipisahkan melalui reformasi.
Kelompok masyarakat sipil menyoroti bahwa TNI bukan lembaga penegak hukum, sehingga memberi mereka kewenangan sipil dapat menimbulkan konflik otoritas dengan Polri, kejaksaan, dan lembaga sipil lain. Selain itu, tanpa pengawasan sipil yang kuat, keterlibatan TNI dalam urusan non-pertahanan dikhawatirkan membuka ruang pelanggaran HAM dan represi terhadap kritik publik.
Penolakan ini juga didasari sejarah panjang penyalahgunaan kekuasaan oleh militer pada masa Orde Baru. Aktivis HAM mengingatkan bahwa trauma masa lalu seharusnya menjadi pelajaran agar kekuasaan TNI tetap dibatasi secara ketat sesuai prinsip negara demokratis.
◆ Dampak Potensial terhadap Sistem Demokrasi
Jika revisi UU TNI disahkan, dampaknya terhadap sistem demokrasi Indonesia bisa signifikan. Perluasan peran militer dalam urusan sipil dapat melemahkan supremasi sipil, salah satu pilar utama negara demokratis. Dengan kewenangan tambahan, TNI berpotensi menjadi aktor politik non-formal yang memengaruhi pengambilan keputusan pemerintahan.
Selain itu, revisi ini berisiko menurunkan akuntabilitas karena TNI masih memiliki sistem peradilan internal (peradilan militer) yang tertutup. Jika prajurit melakukan pelanggaran dalam tugas sipil, publik mungkin sulit memastikan ada sanksi yang adil dan transparan.
Pada akhirnya, revisi UU TNI bisa memperlambat konsolidasi demokrasi yang telah dibangun sejak Reformasi 1998. Banyak pakar menilai bahwa demokrasi Indonesia yang masih muda akan rapuh jika militer kembali memiliki ruang dominan dalam urusan domestik.
◆ Tanggapan Pemerintah dan Lembaga Sipil
Pemerintah menegaskan bahwa revisi UU TNI bukan bentuk kembalinya dwifungsi ABRI, melainkan penyesuaian dengan tantangan zaman. Pemerintah berjanji akan membatasi keterlibatan TNI hanya pada urusan strategis tertentu dan tetap di bawah kendali sipil. DPR menyatakan akan membuka ruang partisipasi publik dalam pembahasan revisi, meski banyak pihak skeptis.
Komnas HAM, KontraS, dan sejumlah LSM mendesak DPR membatalkan revisi ini. Mereka menilai bahwa alih-alih memperluas kewenangan militer, pemerintah seharusnya memperkuat kapasitas lembaga sipil seperti Polri dan BNPB untuk menghadapi tantangan keamanan domestik.
Beberapa tokoh senior militer sendiri justru meminta pemerintah berhati-hati agar TNI tidak diseret kembali ke ranah politik. Mereka mengingatkan bahwa profesionalisme militer hanya bisa dijaga jika TNI fokus pada pertahanan negara.
◆ Prospek dan Skenario ke Depan
Jika tekanan publik semakin kuat, ada kemungkinan DPR menunda atau membatalkan revisi UU TNI. Namun jika revisi tetap disahkan, para pengamat memperkirakan akan muncul gelombang protes baru dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam skenario terburuk, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan DPR bisa merosot tajam.
Karena itu, beberapa pakar menawarkan jalan tengah: TNI hanya boleh terlibat dalam urusan sipil jika mendapat persetujuan DPR dan bersifat sementara, serta harus tunduk pada mekanisme pengawasan sipil penuh. Mekanisme ini diharapkan bisa mencegah kembalinya dominasi militer sekaligus menjawab tantangan keamanan baru.
Masyarakat sipil juga diimbau terus memantau proses legislasi, mengawal pembahasan publik, dan menolak jika ada pasal yang mengancam prinsip demokrasi. Partisipasi publik sangat penting agar kebijakan yang dihasilkan mencerminkan aspirasi rakyat.
📝 Kesimpulan
Revisi UU TNI menjadi salah satu isu paling kontroversial di Indonesia tahun 2025. Pihak pendukung melihatnya sebagai kebutuhan strategis, sementara penolak menilai revisi ini sebagai ancaman terhadap demokrasi. Apapun hasil akhirnya, proses legislasi harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel agar tidak merusak prinsip reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.