Penulis : Himun Zuhri
OPINI,BERITAJAM.NET -- Jabatan Kepala Desa (Kades) pasca terbitnya UU 6 tahun 2014 tentang Desa sepertinya kian dilirik banyak pihak, keinginan orang menjadi Kades semakin membludak, beda dengan dulu.
Berbagai latar belakang profesi ikut pada kontestasi Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Dari para 'juragan' di desa, PNS, bahkan mantan pejabat eksekutif maupun legislatif juga ambil bagian.
Jadi Kades saat ini seperti sudah menjadi salah satu pilihan karir, meskipun untuk memenangkan Pilkades konon berbiaya mahal, iklim transaksional begitu kentara.
Soal ke'tokoh'an sang calon menjadi prioritas ke sekian, bahkan ia harus kalah dengan ke'toke'an salah satu calon. Memang tak di semua desa tetapi terbukti mayoritas.
Tidak hanya modal uang saja, soliditas tim pemenangan juga cukup menentukan, kerja keras tim sukses sangat berperan dalam meraih kemenangan di medan pertarungan.
Bahkan tim sukses tak sekedar melibatkan diri secara fisik, fikiran, waktu, tenaga dan keluarga namun sekaligus jadi donatur yang menggelontorkan dana segar untuk operasional tim.
Tentu harapannya buah manis yang diperjuangkan bersama-sama juga akan dinikmati bersama-sama pula. Di dunia politik ada istilah mana ada sarapan, apalagi makan siang yang gratis, semua ada hitung-hitungan.
Disini berlaku hukum politik balas budi, jika dipanggung politik nasional yang menjadi timses mendapat jatah menteri kabinet, itu jika calonnya menang dan ini berlaku hingga ke jajaran terendah.
Untuk timses Pilkades, ya bergaining-nya menjadi pejabat di desa yakni sebagai perangkat desa, itupun jika calonnya menang, posisi perangkat ini semakin kesini semakin bergensi dan diminati.
Apalagi sejak adanya PP nomor 11 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas PP 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksana UU 6 tahun 2014 tentang Desa. Nilai tawar perangkat kian tinggi.
Bahwa perangkat desa melalui PP tersebut diamanatkan untuk diberi penghasilan tetap (Siltap) minimal setara dengan PNS golongan II/a. Wajar posisi perangkat desa kian 'seksi'.
Dan bagi Kades terpilih dalam mengangkat perangkat desa dari 'kaum'nya sangat lumrah, wajar dan tentu logis, agar ia kedepannya menjalankan roda pemerintahan dapat seiring-sejalan.
Sehingga tak sedikit Kades terpilih yang gerak cepat (gercep) menarik para tim untuk bergabung di dalam 'kandul' struktur pemerintahannya. Perangkat lama-pun juga diberhentikan segera.
Perangkat yang diberhentikan diyakini telah diberi waktu oleh kades terpilih agar mengundurkan diri, supaya tak sampai kepada surat keputusan pemberhentian alias pemecatan.
Namun, kenyataannya saat ini para perangkat desa sudah banyak yang dipecat oleh Kades terpilih karena tidak mengundurkan diri, keputusan ini tak bisa sepenuhnya kita menyalahkan kades.
Lagian yang jadi perangkat, jika selama menjabat apalagi ikut terlibat politik Pilkades dan jagoan kalah seharusnya ya sadar diri sajalah, lebih baik 'gentelman' mengundurkan diri sebelum dipecat.
Bukankah kita tau setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya, karena hidup adalah pilihan, disaat pilihan kita tak terpilih lagi, disaat kita maju dengan tertib mbok ya mundurlah dengan teratur.
Namun saat ini tak sedikit mantan perangkat desa yang meradang karena telah diberhentikan oleh Kades terpilih dan ironisnya dia protes setelah di pecat oleh sosok yang tidak ia pilih saat Pilkades lalu.
Disisi lain, wajar para perangkat melayangkan protes dan melaporkan pemecatan sepihak ini kemana-mana. Disinyalir mereka dipecat karena tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Dari berbagai temuan kasus oleh penulis, Kades memberhentikan para perangkat tanpa melalui prosedur, dan sadisnya belum sempat dievaluasi kinerjanya surat pemecatan telah dilayangkan.
Bahkan baru sebulan dilantik, sudah ada Kades yang memecat seluruh perangkatnya. Bagi sebagian menilai itu biasa namun karena kita hidup di negara hukum semua ada aturan main, untuk mecat ado 'kaji baconyo'.
Posisi jabatan perangkat desa saat ini kian kuat yang dijamin peraturan perundang-undangan. Masa kerja perangkat desa telah diatur dan ia dapat menjabat hingga umur 60 tahun.
Artinya ini upaya pemerintah menginginkan perangkat desa yang dapat bekerja secara optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang berkepastian hukum dan tuntutan profesionalitas.
Namun demikian, bukan berarti perangkat desa tak dapat diberhentikan oleh Kades, karena kewenangan pemberhentian dan pengangkatan perangkat terang dan jelas ada di tangan kades dan itu dijamin UU.
Tetapi ada mekanisme yang harus dijalankan, bahwa pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa ditetapkan oleh kepala desa setelah dikonsultasikan dengan camat atas nama bupati/walikota.
Didalam aturannya tegas, tak hanya dikonsultasikan saja bahwa pemberhentian dan pengangkatan perangkat desa harus mendapat rekomendasi tertulis dari camat tersebut.
Pertanyaannya apakah kades tersebut telah melakukan prosedur itu dalam memberhentikan dan pengangkatan perangkat desa yang baru?. Jangan-jangan posisi camat dilupakan lagi.
Sebab regulasi terkait telah mempersempit ruang bagi kepala desa untuk sewenang-wenang dalam memberhentikan perangkat desanya diluar mekanisme yang ada.
Hal ini telah di atur pada pasal 53 Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan pasal 5 Permendagri 67 tahun 2017 tentang Perubahan atas
Permendagri 83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.
Perangkat Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; dan
c. diberhentikan.
Perangkat Desa diberhentikan seperti poin c karena:
a. usia telah genap 60 (enam puluh) tahun;
b. dinyatakan sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. berhalangan tetap;
d. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai perangkat Desa; dan
e. melanggar larangan sebagai perangkat Desa.
Terkait pemberhentian juga telah ditegaskan lebih teknis pada pasal 65 Perda Merangin Nomor 5 tahun 2016 tentang Pedoman dan Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Begitupun dengan pengangkatan tidak sekonyong-konyong dipecat lalu diangkat langsung perangkat desa yang baru, ada mekanisme pengangkatan perangkat desa berdasarkan pasal 59 pada Perda tersebut.
Harus ada tim bentukan kepala desa untuk melakukan penjaringan dan penyaringan perangkat desa, setelah didapatkan dua nama maka dikonsultasikan ke camat untuk mendapat rekomendasi tertulis.
Jika rekomendasinya persetujuan oleh camat maka kades menerbitkan keputusan kepala desa tentang pengangkatan perangkat desa jika sebaliknya penolakan oleh camat maka tim melakukan penjaringan ulang.
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa bagi kades yang saat ini sedang menjabat untuk dapat menjalankan mekanisme yang telah eksplisit diatur oleh peraturan perundang-undangan, agar tidak 'main trabas'.
Begitupun dengan camat dan Dinas PMD kiranya dapat meluruskan jika kebijakan kades keliru, ini ditegaskan melalui SE Mendagri Nomor : 140/1682/SJ 2 Maret 2021 perihal pembinaan dan pengawasan penyelenggaran pemerintah desa.
Namun, bagi perangkat desa yang merasa dirugikan dengan keputusan kepala desa atas SK pemberhentian yang dianggap non prosedural itu agar dapat mengujinya dan mencari keadilan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
PTUN merupakan jalur yang telah di sediakan negara untuk menguji keputusan pejabat tata usaha negara termasuk keputusan Kades, agar putusan PTUN dapat menjadi yurisprudensi bagi kepala dan perangkat desa lain dalam bertindak.
Kita tidak mencari siapa benar siapa yang salah, namun yang jelas pemkab melalui leading sektornya Dinas PMD baru hari ini melakukan pembekalan kepada kades terpilih hasil Pilkades serentak 2022 yang dilantik 14 Juni lalu (*).