Catatan Kritis Pilkada 2020 pada FGD Kopipede Provinsi Jambi

Suasana FGD yang Diselenggarakan Kopipede Jambi
Suasana FGD yang Diselenggarakan Kopipede Jambi /


JAMBI,beritajam.net - Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (Kopipede) Provinsi Jambi kembali menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) pada Selasa (26/1/2021) bertempat N-Joy Café Handil Jaya, Jelutung, Kota Jambi.

Tujuan kegiatan ini guna menganalisis kejadian dinamika politik pada Pilkada serentak 2020 lalu dan memberikan masukan guna perbaikan-perbaikan pada Pilkada ke depan.

Pembahasan FGD ini mencakup semua aturan hukum Pilkada, seluruh tahapan dan jadwal, sistem penjaringan calon oleh partai politik, dinamika lapangan seperti isu sara, politik identitas. Pelanggaran etika, administrasi, pidana juga protokol kesehatan.

Selain itu, terkait cost politik juga tentang pelanggaran money politik, partisipasi pemilih dan tingkat 'melek' politik masyarakat Jambi serta membedah visi dan misi pasangan calon dengan menghadirkan berbagai narasumber.

Diantaranya, Apnizal, KPU Provinsi Jambi, M. Aris, JADI Provinsi Jambi, Dr. Pahrudin PUTIN, Dr. Syamsir, Ketua Jurusan IPOL/IPEM FH UNJA dan Siti Masnidar, Pimred Jamberita.com serta Dr. Dedek Kusnadi dari PUSKAPOL Jambi.

Dari tim pasangan calon nomor urut 3 hadir Hasan Mabruri juga turut hadir AKBP S Bagus Santoso, Kasubdit Politik Ditintelkam Polda Jambi selain itu secara zoom hadir Bahren Nurdin, Drektur Pusakademia dan Fahrul Rozi dari Bawaslu provinsi Jambi.

Kegiatan dipandu langsung oleh Ketua Kopipede Jambi Mochammad Farisi. Berikut kata Farisi beberapa catatan kritis Pilkada 2020 dari para narasumber bahwa pertama negara belum siap dan tak menduga akan datangnya wabah Covid-19 ini.

"Dengan kondisi ini tentu belum ada regulasi yang mengatur, sehingga dibuat dan berpacu dengan tahapan yang sedang berjalan, sehingga regulasi yang ada juga tak maksimal," kata Farisi.

Tantangan terberat, yakni menjalankan tahapan dengan protokol kesehatan yang ketat, larangan berkerumun sehingga bimtek dan sosialisasi dilakukan daring. Kondisi ini sebetulnya belum terbiasa sehingga hasilnya tak maksimal.

Berbicara partisipasi, dari target 77,5 persen hanya tercapai 67.9 persen, untuk kondisi pendemi ini cukup tinggi. Ini juga dipengaruhi oleh metode sosialisasi yang membatasi tatap muka dan ke depan agar sosialisasi melibatkan banyak pihak.

"Soal banyaknya laporan dan temuan dugaan pelanggaran oleh penyelenggara, peserta juga pemilih. Hal ini menunjukkan kepedulian masyarakat, apalagi panitia ad hoc ada yang dipecat ini membuktikan integritasnya masih rendah," tambah Farisi.

Terhadap penegakan hukum Pilkada lanjut Farisi harus dilakukan secara cepat dan transparan tanpa pandang bulu agar dapat memberikan efek jera dan peringatan bagi pihak lain apalagi yang sanksinya calon bisa dibatalkan.

Soal mahar politik, memang sulit dibuktikan namun isunya santer, sehingga membuat Pilkada berbiaya tinggi, dan berpotensi melahirkan mental-mental pemimpin koruptif. Disinilah komitmen partai dituntut untuk berani menolak mahar politik.

"Melihat seleksi di parpol, terdapat tukar guling kader, ini menunjukkan parpol hanya sebagai alat merebut kekuasaan. Itu pragmatis dan jauh dari nilai-nilai dan tujuan partai politik sesungguhnya," ujar Farisi yang juga dosen Unja ini.

Berkaitan dengan tumbangnya dinasti politik dan calon petahana, ini juga membuktikan bahwa masyarakat secara konstitusional menghendaki adanya perubahan kepemimpinan daerah.

Tak dipungkiri juga pada Pilkada 2020 tahun lalu bahwa isu gender muncul dengan kata-kata "Janda" dan ini jelas menyerang salah satu calon dari kaum hawa, dalam hal ini etika politik dan program kerja perlu ditonjolkan dari pada memainkan isu SARA.

Sementara itu, berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dari Bawaslu maupun Polri bahwa Kota Sungai Penuh tingkat rawan tertinggi. Langkah-langkah strategis telah diantisipasi Polri, namun pada kenyataannya PPK dan Panwaslucam disalah satu kecamatan ini dipecat.

Di samping itu, Bawaslu merilis hampir dipastikan permasalahan yang sama dari Pilkada sebelumnya selalu berulang, seperti pemuktahiran data pilih sebab ini hal krusial dalam pilkada dan data pilih harus valid agar tak jadi polemik dikemudian hari, seperti saat ini di MK.

Pelanggaran kampanye serta sengketa proses pencalonan juga termasuk dalam catatan Bawaslu. "Selain itu, pemahaman pantia Ad Hoc tentang regulasi harus ditingkatkan yang proses dimulai dengan seleksi yang selektif serta bimtek-bimtek yang harus optimal," ujarnya.

Selanjutnya, soal metode kampanye debat jangan hanya formalitas semata, substansi dan metode harus lebih variatif dan memberikan kesempatan bagi paslon mengelaborasi visi dan misi serta model kampanye melalui media digital juga perlu ditingkatkan.

Lebih lanjut, revisi UU partai politik juga dianggap mendesak salah satunya guna memasukkan sistem integritas partai politik terkait kaderisasi, seleksi kepemimpinan, dan pendanaan partai sehingga partai lebih modern, terpantau dan terhindar dari praktek KKN.

"Berdasarkan survei PUTIN, 55,6 persen pemilih menilai calon dari program kerjanya. Tipe pemilih rasional ini harus ditingkatkan, pendidikan politik terstruktur, sistematis dan masif terus dilakukan bukan jelang pilkada saja namun jauh sebelum itu," imbuhnya.

Terakhir kata Farisi catatan kritis yang ia simpulkan dari pemaparan para narasumber bahwa media massa benar-benar independen, mengedepankan etika jurnalistik dan patuh terhadap UU Pers, terpenting bukan sebagai media tim salah pasangan satu calon (*).

Reporter : Himun Zuhri